Seni Tradisional Angkring. Sumber foto : Youtube |
Seni Tradisional Angkring Yang Hampir Punah - Setiap daerah mempunyai seni dan tradisi masing-masing yang tentunya memiliki perbedaan nama dan jenisnya. Meskipun berbeda namanya terkadang masih serupa jenisnya. Sebagai contoh adalah seni tradisional Angkring yang ada di Desa Legokherang, Kec. Cilebak, Kab. Kuningan, Jawa Barat.
Seni Tradisional Angkring adalah sebuah tradisi buhun, yaitu sebuah seni tetabuhan yang dihasilkan dari alat penumbuk padi. Pada zaman dulu kala, proses mengupas kulit padi masih dilakukan dengan cara manual yaitu dengan cara ditumbuk. Alat untuk menumbuk padi tersebut sangat sederhana, yaitu menggunakan halu (alu) dan lisung (lesung).
Halu adalah alat untuk menumbuk padi berbentuk tongkat yang terbuat dari kayu, sedangkan lisung adalah alas untuk menumbuk padi berbentuk cekungan seperti perahu. Lesung pun terbuat dari kayu yang dipahat sehingga memiliki lubang untuk menampung padi/gabah untuk ditumbuk.
Group seni angkring Desa Legokherang |
Tradisi menumbuk padi mengunakan alu dan lesung tersebut bisa dilakukan oleh beberapa orang, tergantung ukuran panjang lesung. Ukuran lesung yang standar panjangnya sekitar 2 meter dan dapat digunakan oleh empat sampai lima orang.
Pekerjaan tersebut biasanya dilakukan oleh kaum wanita. Padi yang sudah beres ditumbuk, kemudian kulitnya dipisahkan dengan cara ditapi(dihempaskan kulitnya menggunakan tampah yang terbuat dari anyaman bambu).
Cara menumbuk padi menggunakan halu dan lisung tidak sembarangan, karena bila membenturkan alu secara bersamaan maka akan bentrok dengan yang lainnya. Ada cara khusus untuk menumbuk padi yaitu dilakukan secara bergantian (cengcot) dengan irama dan ritme mengayunkan alu yang stabil hingga kulit padi terkelupas.
Proses menumbuk padi menggunakan alu dan lesung bisa menghasilkan suara yang berirama. Bunyinya seperti suara kentongan, namun lebih nyaring. Dari seluruh bagian lesung bisa menghasilkan suara yang berbeda ketika ditumbuk menggunakan alu. Dari suaranya yang nyaring dan berirama tersebut kemudian terciptalah seni Angkring/tutunggulan.
Seni Angkring kemudian mendapat sedikit tambahan variasi ketukan dan dipadukan dengan nyanyian Sunda buhun agar terdengar lebih berirama. Akhirnya tutunggulan menjadi sebuah kesenian tradisional yang biasa dipakai saat acara-acara besar seperti menyambut pesta panen, hajat desa, dan kebanyakan dipakai untuk mengisi acara hajatan keluarga, terutama untuk acara khitanan.
Dalam acara hajat khitanan, seni Angkring dilakukan sebelum waktu sholat Shubuh, mulai jam 2 pagi sampai jam 4 / sebelum Adzan Shubuh. Tujuan seni tradisional Angkring dalam acara hajatan adalah untuk mengundang warga setempat agar hadir dalam acara hajatan esok harinya.
Suara tabuhan lesung tersebut jangkauannya cukup luas, sehingga bisa terdengan oleh seluruh warga desa. Saat itu belum ada pengeras suara, sehingga tabuhan lesung dalam seni Angkring menjadi alat untuk mengundang warga sekitar.
Suara tabuhan lesung tersebut jangkauannya cukup luas, sehingga bisa terdengan oleh seluruh warga desa. Saat itu belum ada pengeras suara, sehingga tabuhan lesung dalam seni Angkring menjadi alat untuk mengundang warga sekitar.
Namun sangat disayangkan, seni tradisional Angkring yang ada di Desa Legokherang tersebut sudah mulai jarang dipakai dalam acara-acara besar. Ditambah lagi tidak ada anak muda yang mau melanjutkan seni budaya warisan leluhur tersebut.
Untuk mempertahankan keberadaan seni tradisional Angkring dibutuhkan peran pemerintah untuk melestarikannya, karena jika kesenian ini dibiarkan punah, anak cucu kita nanti tidak akan bisa mengenalnya lagi.
Baca juga Pesta Dadung Desa Legokherang
Terima kasih atas kunjungannya, silakan tinggalkan jejak di kolom komentar